Jumat, 04 Maret 2016

"12 Jari"



    Cerita ini bukan hanya tentang jariku, tapi tentang jarimu, jarinya, dan jari kita. Iya jari kita, kita bukan hanya aku dan kamu, tapi kita dua belas orang dengan dua belas mimpi yang berbeda, kali ini harus berjuang bersama demi satu mimpi yang sama.
    “Asing” itu lah kata yang pertama keluar di benakku. Jari kita awalnya hanya saling berkenalan lewat sebuah aplikasi chat yang diberi judul “PKL kel.3” Keramaian terjadi ketika menentukan ketua kelompok. Beberapa jari merespon, bahkan ada satu jari yang sangat mendominasi, namun ada pula beberapa jari yang hanya membaca dalam diam.
    Akhirnya tidak hanya jari yang berkenalan, kita pun bertemu dalam sebuah acara pembuka. Cerita kita pun dimulai sejak hari itu sampai tiga minggu berikutnya. Awalnya aku merasa tiga minggu ini akan menjadi tiga minggu yang membosankan, melelahkan, menyibukkan dan semua predikat buruk lainnya. Tiga minggu ini memang melelahkan, menyibukkan dan mebosankan, namun ada satu kata yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan ternyata telah menutup semua predikat buruk itu, yaitu “Menyenangkan”.


    Menyenangkan bukan karena kita cocok satu sama lain, atau bahkan akur. Menyenangkan karena kita bisa menjadi diri kita sendiri saat bersama. Si pendiam yang ternyata jahil, si pemalu yang ternyata gokil, dan banyak sifat lain yang akhirnya terungkap saat kita bersama.
    Kita tidak bekerja dalam tekanan, tapi kita kerjakan apa yang kita mampu kerjakan. Kita tidak bekerja dengan terpaksa, tapi kita kerjakan apa yang kita sukai. Semua berjalan begitu saja. Kita berjalan beriringan, tanpa ada yang saling mendahului, menunggu saat ada yang tertinggal dan mengejar saat sudah tertinggal.
    Banyak kisah telah hadir dalam tiga minggu yang sudah kita lalui ini, memang tidak semua kisah berawal dengan menyenangkan, tapi semua kisah kita akan berakhir “Menyenangkan”.
                                                                                               
                                                                                      Indiana Yanuar - 010316

Selasa, 01 Maret 2016

Mengikat Jari




Kehidupan ini memang seperti roda. Roda yang terus berputar, bahkan saat Aku belum siap pun, roda itu akan terus berputar. Terkadang aku jatuh terguling, karena roda itu berputar begitu cepat dan aku belum siap untuk menerima kenyataan, namun kadang aku tersenyum bahagia karena roda itu membuatku bisa terbang melayang dengan semua keinginanku yang tercapai.
Kali ini roda itu memainkan jariku, ya jari itu..., jariku, jari yang beberapa minggu lalu aku ceritakan lewat sebuah cerita pada seorang sahabat http://adaduniaku.blogspot.co.id/2015/12/jari-seorang-sahabat-jari-seorang-aku.html
Beberapa minggu yang lalu aku sangat kesal pada jariku, namun kali ini aku merasa kasihan pada jariku. Jari itu kini benar-benar terpuruk. Aku bahkan telah mengikatnya, aku tidak ingin dia bergerak bebas seperti beberapa bulan ini.
Jari itu kini kecewa, kecewa padaku dan kecewa padanya. Kecewa padaku tentu saja karena aku mengikatnya sangat erat, mungkin terlalu erat, sampai perih pun terasa. Aku sengaja melakukan itu agar jariku tidak lagi mengirim pesan padanya, pada orang yang pernah membuatku nyaman berada didekatnya. Sayangnya hanya kata pernah yang pantas disematkan padanya, walaupun sebenarnya aku benci kata itu. Semua yang ada padanya tak lebih dari sebuah harapan, harapan yang sekedar menjadi mimpi. Aku tidak ingin jariku terus bermimpi karena itu aku mengikatnya.  
Sekarang jariku juga kecewa padanya, karena semua harapan dan mimpi itu telah hancur berantakan. Entahlah kenapa jariku bermimpi terlalu tinggi, bahkan melebihi mimpiku. Jari itu berharap terlalu besar, lagi-lagi melebihi harapanku. Kali ini jari itu telah merasakan bagaimana rasanya diabaikan, bagaimana rasanya dianggap tidak penting dan bagaimana rasanya ditolak.
Jari itu kini hanya bisa diam dan melihat semua balasan yang tak lagi sama, semua jawaban yang tak lagi seru, semua respon yang tak lagi membuat nyaman. Jari itu kini diam dan menunggu, namun apa yang ditunggu pun tak akan pernah datang.
Aku mungkin sedikit kejam telah melukai jariku sendiri, tapi hanya ini yang bisa aku lakukan agar jariku sadar. Aku ingin jariku tahu, jika kehadirannya untuk mengetik pesan sangat tidak diharapkan oleh orang itu dan semua hasil ketikan pesannya mungkin telah mengganggu ketenangan orang itu. Orang yang “pernah” membuatku merasa nyaman didekatnya.
“Terima kasih jari, setidaknya kamu pernah membuatku memiliki sebuah harapan.”
                                                                                                                                          
                                                                                                                Indiana Yanuar (190116)