Kamis, 22 Desember 2016

“Mama Tetangga Tidak Lebih Hijau dari Mama Kita”


Hari ini tepat tanggal 22 desember, semua orang pasti rame-rame pake status “Happy Mother’s Day” atau memposting foto Ibu mereka.  Banyak cara mengungkapkan cinta buat Ibu yang bisa dilakukan, mulai dari posting di medsos, memberi bunga, cake atau banyak lagi cara sweet lainnya. Kali ini saya mencoba satu cara yang belum pernah saya lakukan . Selama ini saya selalu menulis untuk orang lain, tapi belum pernah menulis untuk Mama saya sendiri. Maaf ya ma 😉
Mamaku itu tinggi dan besar, waktu kecil aku bisa berlindung dibalik badannya saat ada bola yang melayang ke arahku. Aku dulu sering sekali melihat mamaku bermain bola Voli. Kata Papa, Mamaku itu atlet Voli dimasa mudanya. Setelah menikah, Mama tetap aktif bermain Voli namun hanya sekelas RT/RW. Mama dikenal banyak tetangga karena keahliannya itu, aku yang masih kecil hanya bisa mengidolakannya saja karena aku sendiri takut saat melihat bola melayang kearahku. Mama pernah punya harapan padaku untuk mengikuti jejaknya, namun kali ini buah jatuh terlalu jauh dari pohonnya. Jadi harapan itu pun sirna seiring dengan lelahnya Mama mencoba mengajariku bermain Voli. 


Papa selalu bilang, mamamu itu “MAMA HEBAT” Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata itu. Semakin bertambah usiaku, aku sadar kata-kata itu bahkan tak cukup menggambarkan sosok Mama buatku. Mama itu pacar posesifku, orang yang setia menanyakan keberadaanku, apakah aku sudah makan, setia menungguku, bahkan terkadang mama itu berdiri di depan rumah sambil melihat ke depan gang karena khawatir menungguku pulang. Jika aku berada di luar kota, maka Mama akan bersusah payah membuka HP dan mengetik pesan buatku. Pesan yang dikirim akan selalu typo (salah ketik), namun selalu berhasil membuatku tersenyum. Mama tidak akan pernah bisa tenang sebelum memastikan anaknya baik-baik saja.
Mama itu punya suara yang sangat nyaring. Suara nyaring itu bisa memanggilku yang berada di rumah tetangga tanpa Mama harus keluar rumah dan hebatnya aku bisa mendengarnya. Suara itu lah yang telah melatihku menjadi anak yang berani dan tegas. Aku tidak pernah takut ketika ada senior yang membentakku saat ospek. Suara itu pula yang membuatku terbiasa bangun pagi, dan membangkitkan semangatku untuk menjalani hari.
Mamaku memang manusia biasa, pasti pernah melakukan kesalahan, tapi mama juga bisa menjadi doraemon. Mama selalu berusaha menyediakan apa yang aku butuhkan, tapi mama tidak serta merta memberikannya padaku secara instant. Mama mengajakku berjuang bersama untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan. Mama telah menjadikanku sosok yang pantang menyerah, gigih dan mau berusaha sekalipun keadaan itu cukup sulit dilalui.
 Mama itu ini dan itu, banyak sekali yang tidak dapat kucurahkan seluruhnya ditulisan ini. Satu yang pasti, Apapun yang terjadi Aku tidak akan mau menukar Mamaku dengan Mama lainnya.

                                                                                Love You Mama - 22122016

Sabtu, 09 Juli 2016

Nonton Sabtu Bersama Bapak di hari Lebaran



Libur lebaran, bingung mau nonton apa ? Kali ini saya ditemani seorang musisi dari Surabaya yang juga bingung mau nonton apa. Diskusi lewat sms pun dimulai karena hp saya lagi rusak. berbekal dari membaca beberapa sinopsis, pilihan kami pun jatuh pada sebuah film berjudul “Sabtu Bersama Bapak”.
Cerita dimulai dengan konflik dari sebuah surat. Surat tersebut berasal dari yayasan kanker Indonesia, yang mengabarkan bahwa bapak Gunawan mengidap penyakit kanker. Kesedihan mulai mewarnai film ini. Bapak merencanakan segala sesuatu untuk masa depan keluarganya nanti, ketika Ia telah pergi. Bapak merekam banyak video untuk menggantikan kehadirannya ditengah keluarga. Ketika tiba waktunya untuk Bapak pergi, Mama pun memutar video itu untuk Satya dan Cakra. Video itu diputar setiap satu minggu sekali, yaitu hari sabtu. Keluarga itu pun tumbuh dengan sempurna sekalipun jumlah mereka tidak sempurna lagi.
                Cerita ini berhasil menguras air mata saya di awal cerita. Saat bapak yang akan menghadapi kematian berinteraksi dengan kedua anaknya, rasanya begitu sedih dan mengharukan. Adegan favorit saya adalah adegan saat sang Bapak bercerita bahwa Ia harus pergi dan itu bukan salah siapapun, jangan pernah menyalahkan siapapun atas kepergian Bapak.
                Film ini terus bergulir dan beberapa masalah muncul ketika Satya dan Cakra telah beranjak dewasa. Masalah-masalah itu mereka hadapi dengan terus mengingat perkataan Bapak. Rasanya saya ingin sekali melihat masa kecil mereka, ketika perkataan bapak mereka dengarkan setiap hari sabtu. Ketika mereka mulai beradaptasi untuk menggantikan sosok Bapak dengan sebuah video rekaman. Saya amat penasaran dengan proses situ. Sayangnya, di film ini cerita lebih berfokus pada masa dikala mereka telah beranjak dewasa. Jadi saya harus membaca novelnya untuk mendapatkan versi utuhnya.
Secara keseluruhan, saya suka film ini. Soundtrack dalam film ini sungguh amat mendukung dan membuat saya penasaran, “ini lagu siapa ya ?” Akting para pemainnya pun terasa natural, tidak berlebihan dan berhasil membuat saya menangis kemudian tak lama akan tertawa. Akting yang terlihat agak kaku, ada pada kedua anak Satya, ekspresi mereka terlihat agak lempeng menurut saya, namun itu semua tidak terlalu mengurangi nilai dari film ini. Jadi bagi yang masih bingung libur lebaran mau ngapain, langsung aja ke bioskop, keburu filmnya udah nggak tayang lagi nanti.     

                                                                                   Indiana Yanuar - 070716

Jumat, 04 Maret 2016

"12 Jari"



    Cerita ini bukan hanya tentang jariku, tapi tentang jarimu, jarinya, dan jari kita. Iya jari kita, kita bukan hanya aku dan kamu, tapi kita dua belas orang dengan dua belas mimpi yang berbeda, kali ini harus berjuang bersama demi satu mimpi yang sama.
    “Asing” itu lah kata yang pertama keluar di benakku. Jari kita awalnya hanya saling berkenalan lewat sebuah aplikasi chat yang diberi judul “PKL kel.3” Keramaian terjadi ketika menentukan ketua kelompok. Beberapa jari merespon, bahkan ada satu jari yang sangat mendominasi, namun ada pula beberapa jari yang hanya membaca dalam diam.
    Akhirnya tidak hanya jari yang berkenalan, kita pun bertemu dalam sebuah acara pembuka. Cerita kita pun dimulai sejak hari itu sampai tiga minggu berikutnya. Awalnya aku merasa tiga minggu ini akan menjadi tiga minggu yang membosankan, melelahkan, menyibukkan dan semua predikat buruk lainnya. Tiga minggu ini memang melelahkan, menyibukkan dan mebosankan, namun ada satu kata yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan ternyata telah menutup semua predikat buruk itu, yaitu “Menyenangkan”.


    Menyenangkan bukan karena kita cocok satu sama lain, atau bahkan akur. Menyenangkan karena kita bisa menjadi diri kita sendiri saat bersama. Si pendiam yang ternyata jahil, si pemalu yang ternyata gokil, dan banyak sifat lain yang akhirnya terungkap saat kita bersama.
    Kita tidak bekerja dalam tekanan, tapi kita kerjakan apa yang kita mampu kerjakan. Kita tidak bekerja dengan terpaksa, tapi kita kerjakan apa yang kita sukai. Semua berjalan begitu saja. Kita berjalan beriringan, tanpa ada yang saling mendahului, menunggu saat ada yang tertinggal dan mengejar saat sudah tertinggal.
    Banyak kisah telah hadir dalam tiga minggu yang sudah kita lalui ini, memang tidak semua kisah berawal dengan menyenangkan, tapi semua kisah kita akan berakhir “Menyenangkan”.
                                                                                               
                                                                                      Indiana Yanuar - 010316

Selasa, 01 Maret 2016

Mengikat Jari




Kehidupan ini memang seperti roda. Roda yang terus berputar, bahkan saat Aku belum siap pun, roda itu akan terus berputar. Terkadang aku jatuh terguling, karena roda itu berputar begitu cepat dan aku belum siap untuk menerima kenyataan, namun kadang aku tersenyum bahagia karena roda itu membuatku bisa terbang melayang dengan semua keinginanku yang tercapai.
Kali ini roda itu memainkan jariku, ya jari itu..., jariku, jari yang beberapa minggu lalu aku ceritakan lewat sebuah cerita pada seorang sahabat http://adaduniaku.blogspot.co.id/2015/12/jari-seorang-sahabat-jari-seorang-aku.html
Beberapa minggu yang lalu aku sangat kesal pada jariku, namun kali ini aku merasa kasihan pada jariku. Jari itu kini benar-benar terpuruk. Aku bahkan telah mengikatnya, aku tidak ingin dia bergerak bebas seperti beberapa bulan ini.
Jari itu kini kecewa, kecewa padaku dan kecewa padanya. Kecewa padaku tentu saja karena aku mengikatnya sangat erat, mungkin terlalu erat, sampai perih pun terasa. Aku sengaja melakukan itu agar jariku tidak lagi mengirim pesan padanya, pada orang yang pernah membuatku nyaman berada didekatnya. Sayangnya hanya kata pernah yang pantas disematkan padanya, walaupun sebenarnya aku benci kata itu. Semua yang ada padanya tak lebih dari sebuah harapan, harapan yang sekedar menjadi mimpi. Aku tidak ingin jariku terus bermimpi karena itu aku mengikatnya.  
Sekarang jariku juga kecewa padanya, karena semua harapan dan mimpi itu telah hancur berantakan. Entahlah kenapa jariku bermimpi terlalu tinggi, bahkan melebihi mimpiku. Jari itu berharap terlalu besar, lagi-lagi melebihi harapanku. Kali ini jari itu telah merasakan bagaimana rasanya diabaikan, bagaimana rasanya dianggap tidak penting dan bagaimana rasanya ditolak.
Jari itu kini hanya bisa diam dan melihat semua balasan yang tak lagi sama, semua jawaban yang tak lagi seru, semua respon yang tak lagi membuat nyaman. Jari itu kini diam dan menunggu, namun apa yang ditunggu pun tak akan pernah datang.
Aku mungkin sedikit kejam telah melukai jariku sendiri, tapi hanya ini yang bisa aku lakukan agar jariku sadar. Aku ingin jariku tahu, jika kehadirannya untuk mengetik pesan sangat tidak diharapkan oleh orang itu dan semua hasil ketikan pesannya mungkin telah mengganggu ketenangan orang itu. Orang yang “pernah” membuatku merasa nyaman didekatnya.
“Terima kasih jari, setidaknya kamu pernah membuatku memiliki sebuah harapan.”
                                                                                                                                          
                                                                                                                Indiana Yanuar (190116)

Minggu, 24 Januari 2016

Bukan Sebuah Kisah, Hanya Sebuah Sisi Terkecil

"Sisi Terkecil"

    Aku bersyukur Tuhan menciptakanku sebagai seorang wanita. Wanita itu adalah seorang mahkluk yang luar biasa. Ia bisa menjadi seseorang yang lemah lembut dan penuh kasih sayang, namun sebaliknya ia bisa juga menjadi seorang yang tegas dan sangat tegar.

   Wanita memang bisa menjadi mahkluk yang lemah, karena Tuhan telah menciptakan seorang mahkluk bernama laki-laki yang akan melindunginya. Wanita juga bisa menjadi seorang yang lembut karena dengan kelembutannya itu, akan ada seorang anak yang terlelap dalam dekapannya. 

     Dibalik semua itu wanita juga bisa menjadi seorang yang tegas, karena dengan ketegasannya itu Ia akan menjadi seorang ibu rumah tangga yang mengatur roda ekonomi rumah tangganya. Ia juga akan menjadi sangat tegar dengan semua yang akan dialaminya, mulai dari rasa sakit dikecewakan, rasa sakit dikhianati, rasa sakit disaat melahirkan dan beribu rasa sakit lainnya. Sekalipun banyak air mata akan keluar dari mata indahnya, setelah itu seorang wanita akan tetap berdiri tegar menghadapi hidupnya.
    Ada satu hal yang mengganjal pikiranku dengan statusku sebagai seorang wanita. Ketika seorang wanita sedang jatuh hati pada seorang laki-laki, haruskah Ia menunggu ? menunggu laki-laki itu mengejarnya, atau mengirim signal-signal agar laki-laki itu mengejarnya. Jika laki-laki itu tetap tak berinisiatif mengejarnya, apakah yang harus dilakukan wanita ? beberapa teman wanitaku berkata, jika seorang laki-laki mengabaikanmu, maka buatlah dia menjadi penasaran padamu agar ia mengejarmu atau menghilanglah dulu untuk beberapa saat agar laki-laki itu mencarimu.

Bagaimana jika semua rencana itu gagal ? 

    Bagaimana jika laki-laki itu justru menghilang pula ketika melihat kita menghilang ? bisa saja dia berfikir, bahwa kita menghilang darinya karena kita telah menemukan laki-laki lain yang lebih baik, lalu dia malah memilih mundur dan tidak akan berusaha mengejar.

    Entahlah kenapa semua itu harus dilakukan, kenapa harus membuat diri kita dikejar, apakah kodrat seorang wanita itu akan dikejar laki-laki atau memang wanita itu harus menjaga imagenya agar ia tidak terkesan gampangan ? 

    Aku tidak tahu darimana teori itu muncul, tapi itu semua telah berkembang hingga sekarang. Aku bisa saja setuju dengan pendapat itu, karena memang wanita adalah mahkluk yang special, jadi harus ada perjuangan seorang laki-laki untuk mendapatkannya. Tapi aku juga bisa saja tidak setuju karena bagiku hubungan antara wanita dan laki-laki itu bukan sebuah arena pertarungan, dimana ada yang berlari dan mengejar. Hubungan antara wanita dan laki-laki itu hubungan yang terjadi karena ada rasa saling tertarik, rasa terikat, dan banyak rasa lain yang tidak bisa kujelaskan, hanya bisa dirasakan.

    Sebenarnya masih banyak yang ingin aku tulis, tapi aku takut kalian menjadi bosan membacanya, jadi cukup sampai disini aku bisa menbahas suatu sisi terkecil dari seorang wanita.
                                                                                                                                
                                                                                                                          Indiana Yanuar (091215)